BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukuman
sebagai salah satu teknik pengelolaan kelas sebenarnya masih terus menjadi
bahan perdebatan. Akan tetapi, apa pun alasannya, hukuman sebenarnya tetap
diperlukan dalam keadaan sangat terpaksa, katakanlah semacam pintu darurat yang
suatu saat mungkin diperlukan. Hukuman merupakan alat pendidikan represif,
disebut juga alat pendidikan korektif, yaitu bertujuan untuk menyadarkan anak
kembali kepada hal-hal yang benar dan/atau yang tertib. Alat pendidikan
represif diadakan bila terjadi suatu perbuatan yang dianggap bertentangan
dengan peraturan-peraturan atau suatu perbuatan yang dianggap melanggar
peraturan.
`yJsù
ö@yJ÷èt tA$s)÷WÏB
>o§s #\øyz
¼çntt
ÇÐÈ
`tBur
ö@yJ÷èt tA$s)÷WÏB
;o§s #vx©
¼çntt
ÇÑÈ
Artinya: 7. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan
seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. 8. Dan barangsiapa
yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya pula. (QS. Al-Zalzalah: 7-8)
B.
Rumusan Masalah
1.
Jelaskan hakekat hukuman!
2.
Jelaskan hakekat pujian!
3.
Bagaimana hukuman dan ganjaran menurut Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan Tentang
Hukuman
1.
Definisi Hukuman
Beberapa definisi hukuman telah dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya:
a.
Hukuman adalah tindakan yang
dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa,
dan dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan
berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya.[1]
b.
Menghukum adalah memberikan atau
mengadakan nestapa/penderitaan dengan sengaja kepada anak yang menjadi asuhan
kita dengan maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasainya untuk menuju
kearah perbaikan.[2]
2.
Prinsip-prinsip Hukuman
Dalam memberikan suatu hukuman, para pendidik
hendaknya berpedoman kepada prinsip "Punitur, Quia Peccatum est",
artinya dihukum karena telah bersalah, dan "Punitur, ne
Peccatum", artinya dihukum agar tidak lagi berbuat kesalahan. Jika
kita mengikuti dua macam prinsip tersebut, maka akan kita dapatkan dua macam
titik pandang, sebagaiman yang dikemukakan oleh Amin Danien Indrakusuma,[3]
yaitu:
a.
Titik pandang yang berpendirian bahwa
hukuman itu ialah sebagai akibat dari pelanggaran atau kesalahan yang
diperbuat. Dengan demikian, pandangan ini mempunyai sudut tinjauan ke belakang,
tinjauan kepada masa yang lampau, yaitu pandangan "Punitur, Quia Peccatum est";
b.
Titik pandang
yang berpendirian bahwa hukuman itu adalah
sebagai titik tolak untuk mengadakan perbaikan. Jadi, pandangan ini mempunyai
sudut tinjau ke muka atau ke masa yang akan datang, yaitu pandangan "Punitur, ne Peccatur".
3.
Teori Hukuman
Berdasarkan sudut pandang tersebut di atas, maka timbullah beberapa teori
tentang hukuman, di antaranya ialah:
a.
Teori Hukum Alam
Teori hukum alam ini dikemukakan oleh penganjur Pendidikan Alam, yaitu J.J.
Rousseau. Rousseau tidak menghendaki hukuman yang dibuat-buat, biarkan alam
sendiri yang menghukumnya.
b.
Teori Ganti Rugi
Teori ganti rugi, di mana anak harus mengganti kerugian akibat perbuatannya
yang salah, misalnya anak memecahkan kaca jendela tetangga, maka ia harus mengganti
dengan uang tabungannya.[4]
c.
Teori Menakut-nakuti
Teori ini bertujuan menimbulkan rasa takut kepada orang lain. Biasanya hukuman dilaksanakan
di muka umum. Pelanggaran kedua kalinya dihukum lebih berat, sebab pengulangan
pelanggaran berarti jeranya pelanggar. Begitulah hukuman makin lama makin
berat, agar orang lain menjadi lebih takut. Fungsi hukuman dengan teori hukuman
menakuti ini terhadap orang lain juga preventif.[5]
d.
Teori Balas dendam
Amin Danien Indrakusuma mengemukakan bahwa macam hukuman yang paling jelek,
yang paling jahat dan paling tidak dipertanggung jawabkan dalam dunia
pendidikan ialah hukuman yang didasarkan kepada rasa sentimen. Sentimen
ini dapat ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan (frustasi) yang dialami oleh
guru, baik mengenai hubungannya dengan orang-orang lain, maupun hubungannya
dengan para siswa secara langsung.[6]
e.
Teori Memperbaiki
Teori inilah yang harus kita gunakan sebagai pendidik, maksudnya untuk
memperbaiki perbuatan anak yang buruk/salah.[7]
Fungsi hukuman dengan teori membetulkan ini korektif dan edukatif.
f.
Teori Melindungi
Teori melindungi, anak dihukum untuk melindungi lingkungan atau masyarakat
terhadap perbuatan-perbuatan salah yang merusak/ merugikan lingkungan tersebut.
g.
Teori Menjerakan
Teori ini bertujuan agar pelanggar sesudah menjalankan hukumannya akan jera
dan tidak akan menjalankan pelanggaran lagi. Fungsi hukuman tersebut adalah
preventif, yaitu mencegah terulangnya pelanggaran sesudah pelanggar dikenai
hukuman.
4.
Memilih Hukuman dan Menentukan
Hukuman
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih dan menentukan hukuman
adalah sebagai berikut:[8]
a.
Macam dan besar kecilnya pelanggaran: Besar kecilnya pelanggaran
akan menentukan berat ringannya hukuman yang harus diberikan;
b.
Pelaku pelanggaran: Hukuman diberikan dengan melihat jenis kelamin,
usia dan halus kasarnya perangai dari pelaku pelanggaran;
c.
Akibat-akibat
yang mungkin timbul dalam hukuman: Pemberian hukuman jangan
sampai menimbulkan akibat yang negatif pada diri anak;
d.
Pilihlah bentuk-bentuk hukuman yang
pedagogis: Hukuman yang dipilih harus sedikit
mungkin segi negatifnya baik dipandang dari sisi murid, guru, maupun dari orang
tua;
e.
Sedapat mungkin jangan menggunakan
hukuman badan: Hukuman badan
adalah hukuman yang menyebabkan rasa sakit pada tubuh anak, hukuman badan.
5.
Syarat-syarat
Pemberian Hukuman
Adapun dalam memberikan hukuman juga harus berdasarkan pada syarat-syarat
tertentu, yaitu sebagai berikut.
a.
Hukuman harus selaras dengan kesalahannya;
b.
Hukuman harus seadil-adilnya;
c.
Hukuman harus lekas dijalankan agar anak
mengerti benar apa sebabnya ia dihukum dan apa maksud hukuman itu;
d.
Hukuman harus dalam keadaan tenang, jangan
dalam keadaan emosional;
e.
Hukuman harus sesuai dengan umur anak;
f.
Hukuman harus diikuti dengan penjelasan, sebab
bertujuan membentuk kata hati;
g.
Hukuman harus diakhiri dengan pemberian ampun;
h.
Hukuman kita gunakan jika kita terpaksa, atau
hukuman merupakan alat pendidikan yang terakhir karena penggunaan alat-alat
pendidikan yang lain sudah tidak dapat lagi;
i.
Yang berhak memberikan hukuman
hanyalah mereka yang cinta pada anak saja.
6.
Tingkatan dan
Bentuk Hukuman
Hukuman yang dapat dikenakan kepada anak-anak bermacam-macam jenis. Sehubungan
dengan hal ini, Suwarno mengungkapkan berdasarkan pandangan W. Stern tedapat
tiga tingkatan hukuman sesuai dengan perkembangan anak, yaitu:[9]
a.
Hukuman Asosiatif, di mana penderitaan yang ditimbulkan akibat
hukuman tadi ada asosiasinya dengan kesalahan anak. Misalnya seorang anak yang
akan mengambil sesuatu di atas meja dipukul jarinya. Hukuman asosiasif
dipergunakan bagi anak kecil;
b.
Hukuman Logis, di mana anak dihukum sehingga
mengalami penderitaan yang ada hubungan logis dengan kesalahannya. Hukuman
logis ini dipergunakan pada anak-anak yang sudah agak besar yang sudah mampu
memahami hubungan antara kesalahan yang diperbuatnya dengan hukuman yang
diterimanya;
c.
Hukuman Moril, tingkatan ini tercapai pada
anak-anak yang lebih besar, di mana anak tidak hanya sekedar menyadari hubungan logis antara kesalahan
dengan hukumannya, tetapi tergugah perasaan kesusilaannya atau terbangun kata
hatinya, ia merasa harus menerima hukuman sebagai sesuatu yang harus
dialaminya.
Sedangkan mengenai bentuk hukuman, Soejono mengemukakan bentuk hukuman dengan tiga bentuk,
yaitu:[10]
a.
Bentuk Isyarat, usaha pembetulan kita lakukan
dalam bentuk isyarat muka dan isyarat anggota badan lainnya. Contohnya, ada
seorang anak didik yang sedang berbuat salah, misalnya bermain-main dengan
mengusik adiknya. Pendidik memandangnya dengan raut muka muram yang menandakan
bahwa ia tidak menyetujui anak didik berbuat semacam itu. Ia menggelengkan
kepala dan menggerakkan tangannya sebagai tanda agar anak didik pergi
meninggalkan adiknya. Apabila anak didik karena asyiknya mengusik tadi tidak
melihat bahwa pendidik memandangnya, maka pendidik memberi isyarat pendahuluan
dengan bertepuk tangan untuk menarik perhatiaannya;
b.
Bentuk kata, isyarat dalam bentuk kata dapat berisi
kata-kata peringatan, kata-kata teguran dan akhirnya kata-kata ancaman. Kalau
perlu bentuk isyarat diganti dengan bentuk kata berupa kata-kata peringatan,
menyebut nama anak yang nakal tadi dengan suara tegas singkat, misalnya
"Amir..!".
c.
Bentuk Perbuatan, usaha pembetulan dalam bentuk
perbuatan adalah lebih berat dari usaha sebelumya. Pendidik mengeterapkan pada
anak didik yang berbuat salah, suatu perbuatan yang tidak menyenangkan baginya
atau ia menghalang-halangi anak didik berbuat sesuatu yang menjadi
kesenangannya.
B. Tinjauan Tentang Pujian
1.
Definisi Pujian
Pujian merupakan penilaian yang bersifat positif terhadap belajar murid,[11]
pada umumnya ganjaran/pujian merupakan motivator yang jauh lebih berkhasiat
dari pada celaan, hukuman atau ujian ulangan.[12]
Pada umunya jiwa anak melihat bahwa pujian guru itu sebagai sumber mendapatkan
kepuasan, maka tindakan guru itu akan menjadi pendorong untuk terjadinya
tingkah laku.[13]
Pujian dapat dilakukan dengan memperteguh respon yang baru dengan
mengasosiasikan pada stimulus tertentu secara berkali-kali, Skinner menyebutkan
hal ini dengan reinforcement (peneguhan), misalnya bila setiap anak menyebut
kata yang sopan kita segera memujinya, kelak anak itu akan mencintai kata-kata
yang sopan dalam komuikasinya, atau pada waktu mahasiswa membuat prestasi yang
baik kita menghargainya dengan sebuah buku yang bagus, maka mahasiswa akan
meningkatkan prestasinya.[14]
Allah berfirman dalam Al Qur'an Surah Ali ’Imran (3) ayat 148:
ãNßg9s?$t«sù ª!$# z>#uqrO $u÷R9$# z`ó¡ãmur É>#uqrO ÍotÅzFy$# 3 ª!$#ur =Ïtä tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇÊÍÑÈ
Artinya: Karena
itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di
akhirat. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. Ali ’Imran/3: 148).
2.
Syarat-Syarat dalam Memberikan Pujian
Beberapa petunjuk dalam memberikanpujian, yaitu:[15]
a.
Penghargaan dari pihak pendidik wajib
makin berkurang dengan makin majunya perkembangan anak didik. Akhirnya, wajib
dicapai tingkatan anak didik memperoleh pujian dari dirinya sendiri sesudah
melaksanakan perbuatan yang luhur, yaitu kepuasan hati. Perlu diketahui, bahwa
tingkatan perkembangan setinggi itu hanya dapat dicapai oleh pendidikan diri
yang terus menerus, sehingga anak didik dalam masa dewasanya memandang bahwa
berbuat luhur adalah tugas hidupnya;
b.
Pujian wajib diberikan secara adil,
tanpa membedakan anak didik, asal padanya ada kerajinan, kesungguhan dan
ketekunan berusaha. Ketidak adilan dalam pemberian pujian dapat menimbulkan
perpecahan dalam lingkungan pendidikan;
c.
Pujian wajib diberikan sesuai dengan sifat
dan watak anak didik. Anak didik yang memerlukannya, diberinya lebih daripada
yang lain. Misalnya pada anak kecil, anak kurang pembawaan lebih banyak diberi
dari pada anak yang lebih besar, anak normal dan sebagainya, sebab sifat anak
itu lebih memerlukan alat pendorong dari pada anak besar dan anak normal;
d.
Pujian wajib diberikan dengan
bijaksana. Tidak membuat anak menjadi sombong dan berbuat baik semata-mata demi
mendapat pujian.
e.
Pada anak didik dalam masa kanak-kanak
tidak ada keberatan pujian disertai pemberian berupa makanan, permen dan lain
sebagainya. Ini sesuai dengan perhatiannya.
3.
Macam-macam Penghargaan
Pujian dalam beberpa literatur dianggap sebagai salah satu bentuk ganjaran,
berikut akan dijelaskan lebih lanjut. Pada garis besarnya dapat dibedakan
ganjaran itu kepada empat macam, yaitu:[16]
a.
Pujian
Pujian adalah satu bentuk ganjaran yang paling mudah dilaksanakan. Pujian
dapat berupa kata-kata seperti: baik, bagus sekali dan sebagainya, tetapi dapat
juga berupa kata-kata yang bersifat sugestif. Di samping berupa kata-kata,
pujian dapat pula berupa isyarat-isyarat atau pertanda-pertanda. Misalnya
dengan menunjukkan ibu jari (jempol), dengan menepuk bahu anak, dengan tepuk
tangan dan sebagainya;
b.
Penghormatan
Ganjaran berupa penghormatan dapat berbentuk dua macam, yaitu: Pertama,
berbentuk semacam penobatan, yaitu anak yang mendapat penghormatan diumumkan
dan ditampilkan di hadapan teman-temannya, dapat juga di hadapan teman-temannya
sekelas, teman-teman sesekolah, atau mungkin juga di hadapan para teman dan
para orang tua murid Kedua, penghormatan berbentuk pemberian kekuasaan
untuk melakukan sesuatu, misalnya kepada anak yang berhasil menyelesaikan suatu
soal yang sulit, disuruh mengerjakannya di papan tulis untuk dicontoh
teman-temannya. Anak yang rajin diserahi wewenang/tugas untuk mengurusi
perpustakaan sekolah. Anak-anak yang senang bekerja diberi tugas untuk membantu
guru memelihara alat-alat pelajaran, dan sebagainya.
c.
Hadiah
Yang dimaksud dengan hadiah di sini adalah ganjaran yang berbentuk pemberian
berupa barang. Ganjaran berbentuk ini disebut juga ganjaran materiil. Ganjaran
berupa pemberian barang ini sering mendatangkan pengaruh yang negatif pada
belajar murid, yakni bahwa hadiah ini lalu menjadi tujuan dari belajar anak.
Anak belajar bukan karena ingin menambah pengetahuan, tetapi belajar karena
ingin mendapatkan hadiah.
Apabila tujuan untuk mendapatkan hadiah ini tidak bisa tercapai, maka anak
akan mundur belajarnya. Oleh karena itu, pemberian hadiah berupa barang ini
lebih baik jangan sering dilakukan. Berikan hadiah berupa barang jika dianggap
memang perlu, dan pilihlah pada saat yang tepat;
d.
Tanda Penghargaan
Jika hadiah merupakan ganjaran berupa barang, maka tanda penghargaan adalah
kebalikannya. Tanda penghargaan tidak dinilai dari segi harga dan kegunaan
barang-barang tersebut seperti halnya hadiah, melainkan tanda penghargaan
dinilai dari segi "kesan" atau "nilai kenangannya". Oleh
karena itu, ganjaran berupa tanda penghargaan disebut juga ganjaran symbolis.
Ganjaran symbolis dapat berupa surat-surat tanda penghargaan, surat tanda jasa,
sertifikat, piala dan sebagainya. Tanda penghargaan yang diperoleh anak akan
merupakan sumber pendorong bagi perkembangan anak selanjutnya.
4.
Nilai Pujian
Pujian seorang pendidik terhadap anak didik mempunyai nilai pendidikan. Soejono
menyatakan sebagai berikut:[17]
a.
Dari hal yang menyebabkan anak didik
memperoleh pujian, anak didik mengetahui norma-norma kehidupan yang baik;
b.
Pujian memupuk rasa suka pada
perbuatan atau norma yang baik dan memperbesar semangat berbuat luhur,
lebih-lebih kalau pujian berasal dari pendidik yang dihormati dan disayangi
anak didik;
c.
Pujian yang akan diterima menolong
kata hati anak didik menjatuhkan pilihannya pada motif yang tepat pada waktu
anak didik mengalami perjuangan motif;
d.
Di dalam pendidikan sosial rumah
tangga, di sekolah maupun di dalam masyarakat pemberian pujian menimbulkan
suasana gembira
e.
Pujian mempertinggi prestasi perbuatan
anak didik dan rombongan sosialnya.
C.
Hukuman dan Pujian dalam Islam
Ibnu
Khaldun telah menjelaskan kekurangan cara kekerasan
dalam mendidik anak-anak, dan untuk ini ia menjelaskan, “siapa-siapa yang
dididik dengan kekerasan, baik ia murid-murid, budak-budak atau khadam dan
rendah diri, hilang kegiatannya, ia terdorong kepada kemalasan, suka berdusta
dan bertabi’at jelek, arena takut hukuman yang akan diterimanya”.[18] Kekerasan itu akan mengajarkan untuk
menipu, suka menipu ini akan menjadi satu kebiasaan dan budi pekertinya dan
akan rusaklah perikemanusiaan yang terdapat dalam dirinya. Selanjutnya Ibnu
Khaldun menjelaskan bahwa akhlak yang timbul dari kekerasan dan paksaan
mempunyai pengaruh yang tidak baik dalam hidup bermasyarakat, dan dalam hal ini
ia mengatakan, “Orang-orang yang mendapat bimbingan dengan cara kekerasan akan
menjadi beban bagi orang lain, karena ia tidak mampu mempertahankan nama
baiknya dan keluarganya, sebab ia tidak mempunyai keberanian dan ambisi, dan ia
tidak mau berusaha untuk memiliki sidat-sifat keutamaan dan budi pekerti yang
baik, dan oleh karena itu jiwanya dan perikemanusiaanya tidak dapat berkembang.[19]
Menurut Ibnu Sina
pujian dan sugesti lebih berfaedah dari mencela, dan pemakaian ini
tergantung kepada situasi. Akan tetapi kalau keadaan menghendaki kepada
pemukulan, maka guru tidak boleh ragu-ragu menggunakannya, dengan satu
ketentuan bahwa pukulan yang pertama itu harus sakit, hingga berkesan dalam
jiwa anak-anak satu kesan yang pantas, sehingga ia menganggap hukuman tersebut
satu hal yang sungguh-sungguh. Kalau sekiranya pukulan yang pertama itu tidak
menyakitkan, maka anak-anak akan memandang enteng terhadap pukulan. Akan tetapi
menggunakan hukuman itu adalah sesudah didahului dengan gertakan dan ancaman
serta bujukan agar terjadi pengaruh yang diinginkan dalam jiwa anak-anak.[20]
Tidak ada
ahli pendidikan yang menghendaki digunakannya hukuman dalam pendidikan kecuali
terpaksa. Hadiah atau pujian jauh lebih dipentingkan ketimbang hukuman. Dalam pendidikan Islam diakui perlunya hukuman berupa pukulan bila
anak yang berumur 10 tahun belum juga mau shalat[21]. Manfaat hukuman dalam pendidikan
ditujukan untuk memperoleh perbaikan dan pengarahan, bukan semata-mata untuk
membalas dendam, oleh karena itu orang Islam menganjurkan untuk mengetahui
tabi’at dan perangai anak-anak sebelum menjatuhkan hukuman kepada mereka.[22]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut.
1.
Hukuman adalah tindakan yang
dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa,
dan dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan
berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya. Dan dalam memberikan hukuman, seorang pendidik hendaknya berpedoman kepada prinsip "Punitur,
Quia Peccatum est", artinya dihukum karena telah bersalah, dan "Punitur,
ne Peccatum", artinya dihukum agar tidak lagi berbuat kesalahan.
2.
Pujian merupakan penilaian yang
bersifat positif terhadap belajar murid. Pada umumnya pujian merupakan
motivator yang jauh lebih berkhasiat dari pada celaan, hukuman atau ujian
ulangan. Pada umunya jiwa anak melihat bahwa pujian guru itu sebagai sumber
mendapatkan kepuasan, maka tindakan guru itu akan menjadi pendorong untuk terjadinya
tingkah laku. Pujian dapat dilakukan dengan memperteguh respon yang baru dengan
mengasosiasikan pada stimulus tertentu secara berkali-kali, dan hendaknya pujian itu bernilai
pendidikan.
3.
Hukuman dan pujian dalam Islam diperbolehkan. Akan
tetapi penggunaan pujian lebih diutamakan dibandingkan dengan hukuman. Dalam pendidikan Islam diakui perlunya hukuman berupa pukulan bila
anak yang berumur 10 tahun belum juga mau shalat. Manfaat hukuman dalam
pendidikan ditujukan untuk memperoleh perbaikan dan pengarahan, bukan
semata-mata untuk membalas dendam, oleh karena itu orang Islam menganjurkan
untuk mengetahui tabi’at dan perangai anak-anak sebelum menjatuhkan hukuman
kepada mereka.
DAFTAR RUJUKAN
Fahmi, Asma Hasan Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
terj. Ibrahim Husen,
Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Indrakusuma, Amin Danien, Pengantar
Ilmu Pengetahuan. Malang:
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, 1973.
Rahmat, J., Psikologi
Komunikasi. Bandung: Rosda Karya, 1994.
Sabri, Alisuf, Psikologi Pendidikan,
Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1995.
Soeitoe, Samuel Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas, Ekonomi Universitas Indonesia. 1982.
Soejono, Ag., Pendahuluan Ilmu
Pendidikan Umum. Bandung: CV. Ilmu, 1980.
Sutadipura,
Balnadi, Aneka Problema Keguruan. Bandung: Angkasa, 1982.
Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan.
Jakrta: PT. Rineka Cipta,
1992.
[1] Amin Danien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pengetahuan.
Malang:
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, 1973, hlm 14
[3] AD Indrakusuma, Pengantar Ilmu
Pengetahuan...hlm 148
[4] Suwarno, Pengantar
Ilmu Pendidikan. Jakrta: PT. Rineka Cipta, 1992, hlm 115
[6] AD. Darmakusuma, Pengantar Ilmu
Pengetahuan …hlm 150
[8] AD. Darmakusuma, Pengantar Ilmu
Pengetahuan …hlm 157
[10]
Ag. Soejono, Pendahuluan Ilmu Pendidikan hlm 169
[11] AD. Darmakusuma, Pengantar Ilmu
Pengetahuan …hlm 159
[12] Balnadi Sutadipura, Aneka Problema Keguruan. Bandung : Angkasa, 1982, hlm132
[13] Samuel Soeitoe, Psikologi Pendidikan.
Jakarta :
Lembaga Penerbit Fakultas, Ekonomi Universitas Indonesia . 1982, hlm 36
[14] Rahmat, J., Psikologi Komunikasi. Bandung : Rosda Karya, 1994, hlm 24
[18] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 494-495
[19] ibid, hlm 495
[20] Ibnu Sina, Fi Kitab Al-Siyasah, hlm. 12
[21] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
terj. Ibrahim
Husen, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hlm. 135.
[22] Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1995, hlm 86
ilmu berguna..^_^
BalasHapus