Kamis, 21 Februari 2013

HAKEKAT HUKUMAN DAN PUJIAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM


BAB  I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Hukuman sebagai salah satu teknik pengelolaan kelas sebenarnya masih terus menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi, apa pun alasannya, hukuman sebenarnya tetap diperlukan dalam keadaan sangat terpaksa, katakanlah semacam pintu darurat yang suatu saat mungkin diperlukan. Hukuman merupakan alat pendidikan represif, disebut juga alat pendidikan korektif, yaitu bertujuan untuk menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang benar dan/atau yang tertib. Alat pendidikan represif diadakan bila terjadi suatu perbuatan yang dianggap bertentangan dengan peraturan-peraturan atau suatu perbuatan yang dianggap melanggar peraturan.
`yJsù ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB >o§sŒ #\øyz ¼çnttƒ ÇÐÈ `tBur ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB ;o§sŒ #vx© ¼çnttƒ ÇÑÈ
Artinya:    7. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. 8. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS. Al-Zalzalah: 7-8)


B.       Rumusan Masalah
1.         Jelaskan hakekat hukuman!
2.         Jelaskan hakekat pujian!
3.         Bagaimana hukuman dan ganjaran menurut Islam?





BAB II
PEMBAHASAN

A.      Tinjauan Tentang Hukuman
1.         Definisi Hukuman
Beberapa definisi hukuman telah dikemukakan oleh beberapa ahli,          di antaranya:
a.         Hukuman adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa, dan dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya.[1]
b.        Menghukum adalah memberikan atau mengadakan nestapa/penderitaan dengan sengaja kepada anak yang menjadi asuhan kita dengan maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasainya untuk menuju kearah perbaikan.[2]

2.         Prinsip-prinsip Hukuman
Dalam memberikan suatu hukuman, para pendidik hendaknya berpedoman kepada prinsip "Punitur, Quia Peccatum est", artinya dihukum karena telah bersalah, dan "Punitur, ne Peccatum", artinya dihukum agar tidak lagi berbuat kesalahan. Jika kita mengikuti dua macam prinsip tersebut, maka akan kita dapatkan dua macam titik pandang, sebagaiman yang dikemukakan oleh Amin Danien Indrakusuma,[3] yaitu:
a.         Titik pandang yang berpendirian bahwa hukuman itu ialah sebagai akibat dari pelanggaran atau kesalahan yang diperbuat. Dengan demikian, pandangan ini mempunyai sudut tinjauan ke belakang, tinjauan kepada masa yang lampau, yaitu pandangan "Punitur, Quia Peccatum est";
b.        Titik pandang yang berpendirian bahwa hukuman itu adalah sebagai titik tolak untuk mengadakan perbaikan. Jadi, pandangan ini mempunyai sudut tinjau ke muka atau ke masa yang akan datang, yaitu pandangan "Punitur, ne Peccatur".

3.         Teori Hukuman
Berdasarkan sudut pandang tersebut di atas, maka timbullah beberapa teori tentang hukuman, di antaranya ialah:
a.         Teori Hukum Alam
Teori hukum alam ini dikemukakan oleh penganjur Pendidikan Alam, yaitu J.J. Rousseau. Rousseau tidak menghendaki hukuman yang dibuat-buat, biarkan alam sendiri yang menghukumnya.
b.        Teori Ganti Rugi
Teori ganti rugi, di mana anak harus mengganti kerugian akibat perbuatannya yang salah, misalnya anak memecahkan kaca jendela tetangga, maka ia harus mengganti dengan uang tabungannya.[4]
c.         Teori Menakut-nakuti
Teori ini bertujuan menimbulkan rasa takut kepada orang lain. Biasanya hukuman dilaksanakan di muka umum. Pelanggaran kedua kalinya dihukum lebih berat, sebab pengulangan pelanggaran berarti jeranya pelanggar. Begitulah hukuman makin lama makin berat, agar orang lain menjadi lebih takut. Fungsi hukuman dengan teori hukuman menakuti ini terhadap orang lain juga preventif.[5]
d.        Teori Balas dendam
Amin Danien Indrakusuma mengemukakan bahwa macam hukuman yang paling jelek, yang paling jahat dan paling tidak dipertanggung jawabkan dalam dunia pendidikan ialah hukuman yang didasarkan kepada rasa sentimen. Sentimen ini dapat ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan (frustasi) yang dialami oleh guru, baik mengenai hubungannya dengan orang-orang lain, maupun hubungannya dengan para siswa secara langsung.[6]
e.         Teori Memperbaiki
Teori inilah yang harus kita gunakan sebagai pendidik, maksudnya untuk memperbaiki perbuatan anak yang buruk/salah.[7] Fungsi hukuman dengan teori membetulkan ini korektif dan edukatif.
f.         Teori Melindungi
Teori melindungi, anak dihukum untuk melindungi lingkungan atau masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan salah yang merusak/ merugikan lingkungan tersebut.
g.        Teori Menjerakan
Teori ini bertujuan agar pelanggar sesudah menjalankan hukumannya akan jera dan tidak akan menjalankan pelanggaran lagi. Fungsi hukuman tersebut adalah preventif, yaitu mencegah terulangnya pelanggaran sesudah pelanggar dikenai hukuman.

4.         Memilih Hukuman dan Menentukan Hukuman
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih dan menentukan hukuman adalah sebagai berikut:[8]
a.         Macam dan besar kecilnya pelanggaran: Besar kecilnya pelanggaran akan menentukan berat ringannya hukuman yang harus diberikan;
b.        Pelaku pelanggaran: Hukuman diberikan dengan melihat jenis kelamin, usia dan halus kasarnya perangai dari pelaku pelanggaran;
c.         Akibat-akibat yang mungkin timbul dalam hukuman: Pemberian hukuman jangan sampai menimbulkan akibat yang negatif pada diri anak;
d.        Pilihlah bentuk-bentuk hukuman yang pedagogis: Hukuman yang dipilih harus sedikit mungkin segi negatifnya baik dipandang dari sisi murid, guru, maupun dari orang tua;
e.         Sedapat mungkin jangan menggunakan hukuman badan: Hukuman badan adalah hukuman yang menyebabkan rasa sakit pada tubuh anak, hukuman badan.

5.         Syarat-syarat Pemberian Hukuman
Adapun dalam memberikan hukuman juga harus berdasarkan pada syarat-syarat tertentu, yaitu sebagai berikut.
a.         Hukuman harus selaras dengan kesalahannya;
b.        Hukuman harus seadil-adilnya;
c.         Hukuman harus lekas dijalankan agar anak mengerti benar apa sebabnya ia dihukum dan apa maksud hukuman itu;
d.        Hukuman harus dalam keadaan tenang, jangan dalam keadaan emosional;
e.         Hukuman harus sesuai dengan umur anak;
f.         Hukuman harus diikuti dengan penjelasan, sebab bertujuan membentuk kata hati;
g.        Hukuman harus diakhiri dengan pemberian ampun;
h.        Hukuman kita gunakan jika kita terpaksa, atau hukuman merupakan alat pendidikan yang terakhir karena penggunaan alat-alat pendidikan yang lain sudah tidak dapat lagi;
i.          Yang berhak memberikan hukuman hanyalah mereka yang cinta pada anak saja.

6.         Tingkatan dan Bentuk Hukuman
Hukuman yang dapat dikenakan kepada anak-anak bermacam-macam jenis. Sehubungan dengan hal ini, Suwarno mengungkapkan berdasarkan pandangan W. Stern tedapat tiga tingkatan hukuman sesuai dengan perkembangan anak, yaitu:[9]
a.         Hukuman Asosiatif, di mana penderitaan yang ditimbulkan akibat hukuman tadi ada asosiasinya dengan kesalahan anak. Misalnya seorang anak yang akan mengambil sesuatu di atas meja dipukul jarinya. Hukuman asosiasif dipergunakan bagi anak kecil;
b.        Hukuman Logis, di mana anak dihukum sehingga mengalami penderitaan yang ada hubungan logis dengan kesalahannya. Hukuman logis ini dipergunakan pada anak-anak yang sudah agak besar yang sudah mampu memahami hubungan antara kesalahan yang diperbuatnya dengan hukuman yang diterimanya;
c.         Hukuman Moril, tingkatan ini tercapai pada anak-anak yang lebih besar, di mana anak tidak hanya sekedar menyadari hubungan logis antara kesalahan dengan hukumannya, tetapi tergugah perasaan kesusilaannya atau terbangun kata hatinya, ia merasa harus menerima hukuman sebagai sesuatu yang harus dialaminya.
Sedangkan mengenai bentuk hukuman, Soejono mengemukakan bentuk hukuman dengan tiga bentuk, yaitu:[10]
a.         Bentuk Isyarat, usaha pembetulan kita lakukan dalam bentuk isyarat muka dan isyarat anggota badan lainnya. Contohnya, ada seorang anak didik yang sedang berbuat salah, misalnya bermain-main dengan mengusik adiknya. Pendidik memandangnya dengan raut muka muram yang menandakan bahwa ia tidak menyetujui anak didik berbuat semacam itu. Ia menggelengkan kepala dan menggerakkan tangannya sebagai tanda agar anak didik pergi meninggalkan adiknya. Apabila anak didik karena asyiknya mengusik tadi tidak melihat bahwa pendidik memandangnya, maka pendidik memberi isyarat pendahuluan dengan bertepuk tangan untuk menarik perhatiaannya;
b.        Bentuk kata, isyarat dalam bentuk kata dapat berisi kata-kata peringatan, kata-kata teguran dan akhirnya kata-kata ancaman. Kalau perlu bentuk isyarat diganti dengan bentuk kata berupa kata-kata peringatan, menyebut nama anak yang nakal tadi dengan suara tegas singkat, misalnya "Amir..!".
c.         Bentuk Perbuatan, usaha pembetulan dalam bentuk perbuatan adalah lebih berat dari usaha sebelumya. Pendidik mengeterapkan pada anak didik yang berbuat salah, suatu perbuatan yang tidak menyenangkan baginya atau ia menghalang-halangi anak didik berbuat sesuatu yang menjadi kesenangannya.

B.       Tinjauan Tentang Pujian
1.         Definisi Pujian
Pujian merupakan penilaian yang bersifat positif terhadap belajar murid,[11] pada umumnya ganjaran/pujian merupakan motivator yang jauh lebih berkhasiat dari pada celaan, hukuman atau ujian ulangan.[12] Pada umunya jiwa anak melihat bahwa pujian guru itu sebagai sumber mendapatkan kepuasan, maka tindakan guru itu akan menjadi pendorong untuk terjadinya tingkah laku.[13] Pujian dapat dilakukan dengan memperteguh respon yang baru dengan mengasosiasikan pada stimulus tertentu secara berkali-kali, Skinner menyebutkan hal ini dengan reinforcement (peneguhan), misalnya bila setiap anak menyebut kata yang sopan kita segera memujinya, kelak anak itu akan mencintai kata-kata yang sopan dalam komuikasinya, atau pada waktu mahasiswa membuat prestasi yang baik kita menghargainya dengan sebuah buku yang bagus, maka mahasiswa akan meningkatkan prestasinya.[14]
Allah berfirman dalam Al Qur'an Surah Ali ’Imran (3) ayat 148:
ãNßg9s?$t«sù ª!$# z>#uqrO $u÷R9$# z`ó¡ãmur É>#uqrO ÍotÅzFy$# 3 ª!$#ur =Ïtä tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇÊÍÑÈ
Artinya:   Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. Ali ’Imran/3: 148).

2.         Syarat-Syarat dalam Memberikan Pujian
Beberapa petunjuk dalam memberikanpujian, yaitu:[15]
a.         Penghargaan dari pihak pendidik wajib makin berkurang dengan makin majunya perkembangan anak didik. Akhirnya, wajib dicapai tingkatan anak didik memperoleh pujian dari dirinya sendiri sesudah melaksanakan perbuatan yang luhur, yaitu kepuasan hati. Perlu diketahui, bahwa tingkatan perkembangan setinggi itu hanya dapat dicapai oleh pendidikan diri yang terus menerus, sehingga anak didik dalam masa dewasanya memandang bahwa berbuat luhur adalah tugas hidupnya;
b.        Pujian wajib diberikan secara adil, tanpa membedakan anak didik, asal padanya ada kerajinan, kesungguhan dan ketekunan berusaha. Ketidak adilan dalam pemberian pujian dapat menimbulkan perpecahan dalam lingkungan pendidikan;
c.         Pujian wajib diberikan sesuai dengan sifat dan watak anak didik. Anak didik yang memerlukannya, diberinya lebih daripada yang lain. Misalnya pada anak kecil, anak kurang pembawaan lebih banyak diberi dari pada anak yang lebih besar, anak normal dan sebagainya, sebab sifat anak itu lebih memerlukan alat pendorong dari pada anak besar dan anak normal;
d.        Pujian wajib diberikan dengan bijaksana. Tidak membuat anak menjadi sombong dan berbuat baik semata-mata demi mendapat pujian.
e.         Pada anak didik dalam masa kanak-kanak tidak ada keberatan pujian disertai pemberian berupa makanan, permen dan lain sebagainya. Ini sesuai dengan perhatiannya.

3.         Macam-macam Penghargaan
Pujian dalam beberpa literatur dianggap sebagai salah satu bentuk ganjaran, berikut akan dijelaskan lebih lanjut. Pada garis besarnya dapat dibedakan ganjaran itu kepada empat macam, yaitu:[16]
a.        Pujian
Pujian adalah satu bentuk ganjaran yang paling mudah dilaksanakan. Pujian dapat berupa kata-kata seperti: baik, bagus sekali dan sebagainya, tetapi dapat juga berupa kata-kata yang bersifat sugestif. Di samping berupa kata-kata, pujian dapat pula berupa isyarat-isyarat atau pertanda-pertanda. Misalnya dengan menunjukkan ibu jari (jempol), dengan menepuk bahu anak, dengan tepuk tangan dan sebagainya;
b.        Penghormatan
Ganjaran berupa penghormatan dapat berbentuk dua macam, yaitu: Pertama, berbentuk semacam penobatan, yaitu anak yang mendapat penghormatan diumumkan dan ditampilkan di hadapan teman-temannya, dapat juga di hadapan teman-temannya sekelas, teman-teman sesekolah, atau mungkin juga di hadapan para teman dan para orang tua murid Kedua, penghormatan berbentuk pemberian kekuasaan untuk melakukan sesuatu, misalnya kepada anak yang berhasil menyelesaikan suatu soal yang sulit, disuruh mengerjakannya di papan tulis untuk dicontoh teman-temannya. Anak yang rajin diserahi wewenang/tugas untuk mengurusi perpustakaan sekolah. Anak-anak yang senang bekerja diberi tugas untuk membantu guru memelihara alat-alat pelajaran, dan sebagainya.

c.         Hadiah
Yang dimaksud dengan hadiah di sini adalah ganjaran yang berbentuk pemberian berupa barang. Ganjaran berbentuk ini disebut juga ganjaran materiil. Ganjaran berupa pemberian barang ini sering mendatangkan pengaruh yang negatif pada belajar murid, yakni bahwa hadiah ini lalu menjadi tujuan dari belajar anak. Anak belajar bukan karena ingin menambah pengetahuan, tetapi belajar karena ingin mendapatkan hadiah.
Apabila tujuan untuk mendapatkan hadiah ini tidak bisa tercapai, maka anak akan mundur belajarnya. Oleh karena itu, pemberian hadiah berupa barang ini lebih baik jangan sering dilakukan. Berikan hadiah berupa barang jika dianggap memang perlu, dan pilihlah pada saat yang tepat;
d.        Tanda Penghargaan
Jika hadiah merupakan ganjaran berupa barang, maka tanda penghargaan adalah kebalikannya. Tanda penghargaan tidak dinilai dari segi harga dan kegunaan barang-barang tersebut seperti halnya hadiah, melainkan tanda penghargaan dinilai dari segi "kesan" atau "nilai kenangannya". Oleh karena itu, ganjaran berupa tanda penghargaan disebut juga ganjaran symbolis. Ganjaran symbolis dapat berupa surat-surat tanda penghargaan, surat tanda jasa, sertifikat, piala dan sebagainya. Tanda penghargaan yang diperoleh anak akan merupakan sumber pendorong bagi perkembangan anak selanjutnya.
4.         Nilai Pujian
Pujian seorang pendidik terhadap anak didik mempunyai nilai pendidikan. Soejono menyatakan sebagai berikut:[17]
a.         Dari hal yang menyebabkan anak didik memperoleh pujian, anak didik mengetahui norma-norma kehidupan yang baik;
b.        Pujian memupuk rasa suka pada perbuatan atau norma yang baik dan memperbesar semangat berbuat luhur, lebih-lebih kalau pujian berasal dari pendidik yang dihormati dan disayangi anak didik;
c.         Pujian yang akan diterima menolong kata hati anak didik menjatuhkan pilihannya pada motif yang tepat pada waktu anak didik mengalami perjuangan motif;
d.        Di dalam pendidikan sosial rumah tangga, di sekolah maupun di dalam masyarakat pemberian pujian menimbulkan suasana gembira
e.         Pujian mempertinggi prestasi perbuatan anak didik dan rombongan sosialnya.

C.      Hukuman dan Pujian dalam Islam
Ibnu Khaldun telah menjelaskan kekurangan cara kekerasan dalam mendidik anak-anak, dan untuk ini ia menjelaskan, “siapa-siapa yang dididik dengan kekerasan, baik ia murid-murid, budak-budak atau khadam dan rendah diri, hilang kegiatannya, ia terdorong kepada kemalasan, suka berdusta dan bertabi’at jelek, arena takut hukuman yang akan diterimanya”.[18] Kekerasan itu akan mengajarkan untuk menipu, suka menipu ini akan menjadi satu kebiasaan dan budi pekertinya dan akan rusaklah perikemanusiaan yang terdapat dalam dirinya. Selanjutnya Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa akhlak yang timbul dari kekerasan dan paksaan mempunyai pengaruh yang tidak baik dalam hidup bermasyarakat, dan dalam hal ini ia mengatakan, “Orang-orang yang mendapat bimbingan dengan cara kekerasan akan menjadi beban bagi orang lain, karena ia tidak mampu mempertahankan nama baiknya dan keluarganya, sebab ia tidak mempunyai keberanian dan ambisi, dan ia tidak mau berusaha untuk memiliki sidat-sifat keutamaan dan budi pekerti yang baik, dan oleh karena itu jiwanya dan perikemanusiaanya tidak dapat berkembang.[19]
Menurut  Ibnu Sina  pujian dan sugesti lebih berfaedah dari mencela, dan pemakaian ini tergantung kepada situasi. Akan tetapi  kalau keadaan menghendaki kepada pemukulan, maka guru tidak boleh ragu-ragu menggunakannya, dengan satu ketentuan bahwa pukulan yang pertama itu harus sakit, hingga berkesan dalam jiwa anak-anak satu kesan yang pantas, sehingga ia menganggap hukuman tersebut satu hal yang sungguh-sungguh. Kalau sekiranya pukulan yang pertama itu tidak menyakitkan, maka anak-anak akan memandang enteng terhadap pukulan. Akan tetapi menggunakan hukuman itu adalah sesudah didahului dengan gertakan dan ancaman serta bujukan agar terjadi pengaruh yang diinginkan dalam jiwa anak-anak.[20]
Tidak ada ahli pendidikan yang menghendaki digunakannya hukuman dalam pendidikan kecuali terpaksa. Hadiah atau pujian jauh lebih dipentingkan ketimbang hukuman. Dalam pendidikan Islam diakui perlunya hukuman berupa pukulan bila anak yang berumur 10 tahun belum juga mau shalat[21]. Manfaat hukuman dalam pendidikan ditujukan untuk memperoleh perbaikan dan pengarahan, bukan semata-mata untuk membalas dendam, oleh karena itu orang Islam menganjurkan untuk mengetahui tabi’at dan perangai anak-anak sebelum menjatuhkan hukuman kepada mereka.[22]












BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1.         Hukuman adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa, dan dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya. Dan dalam memberikan hukuman, seorang pendidik hendaknya berpedoman kepada prinsip "Punitur, Quia Peccatum est", artinya dihukum karena telah bersalah, dan "Punitur, ne Peccatum", artinya dihukum agar tidak lagi berbuat kesalahan.
2.         Pujian merupakan penilaian yang bersifat positif terhadap belajar murid. Pada umumnya pujian merupakan motivator yang jauh lebih berkhasiat dari pada celaan, hukuman atau ujian ulangan. Pada umunya jiwa anak melihat bahwa pujian guru itu sebagai sumber mendapatkan kepuasan, maka tindakan guru itu akan menjadi pendorong untuk terjadinya tingkah laku. Pujian dapat dilakukan dengan memperteguh respon yang baru dengan mengasosiasikan pada stimulus tertentu secara berkali-kali, dan hendaknya pujian itu bernilai pendidikan.
3.         Hukuman dan pujian dalam Islam diperbolehkan. Akan tetapi penggunaan pujian lebih diutamakan dibandingkan dengan hukuman. Dalam pendidikan Islam diakui perlunya hukuman berupa pukulan bila anak yang berumur 10 tahun belum juga mau shalat. Manfaat hukuman dalam pendidikan ditujukan untuk memperoleh perbaikan dan pengarahan, bukan semata-mata untuk membalas dendam, oleh karena itu orang Islam menganjurkan untuk mengetahui tabi’at dan perangai anak-anak sebelum menjatuhkan hukuman kepada mereka.

DAFTAR RUJUKAN

Fahmi, Asma Hasan Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husen,  Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Indrakusuma, Amin Danien, Pengantar Ilmu Pengetahuan. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, 1973.

Rahmat, J., Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda Karya, 1994.

Sabri, Alisuf, Psikologi Pendidikan, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1995.

Soeitoe, Samuel Psikologi Pendidikan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas, Ekonomi Universitas Indonesia. 1982.

Soejono, Ag., Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum. Bandung: CV. Ilmu, 1980.

Sutadipura, Balnadi, Aneka Problema Keguruan. Bandung: Angkasa, 1982.

Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakrta: PT. Rineka Cipta, 1992.

























[1] Amin Danien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pengetahuan. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, 1973, hlm 14
[2] Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakrta: PT. Rineka Cipta, 1992, hlm 115
[3] AD Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pengetahuan...hlm 148
[4] Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakrta: PT. Rineka Cipta, 1992, hlm 115
[5] Ag. Soejono, Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum. Bandung: CV. Ilmu, 1980, Hlm 164
[6] AD. Darmakusuma, Pengantar Ilmu Pengetahuan …hlm 150
[7] Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan. hlm 115
[8] AD. Darmakusuma, Pengantar Ilmu Pengetahuan …hlm 157
[9] Suwarno, , Pengantar Ilmu Pendidikan hlm 177
[10] Ag. Soejono, Pendahuluan Ilmu Pendidikan hlm 169
[11] AD. Darmakusuma, Pengantar Ilmu Pengetahuan …hlm 159
[12] Balnadi Sutadipura, Aneka Problema Keguruan. Bandung: Angkasa, 1982, hlm132
[13] Samuel Soeitoe, Psikologi Pendidikan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas, Ekonomi Universitas Indonesia. 1982, hlm 36
[14] Rahmat, J., Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda Karya, 1994, hlm 24
[15] Soejono Pendahuluan Ilmu Pendidikan ..hal 163
[16] Ag. Soejono Pendahuluan Ilmu Pendidikan ..hal 161
[17] Soejono, Pendahuluan Ilmu Pendidikan ..hal 162
[18] Ibnu Khaldun, Muqaddimah,  hlm. 494-495
[19] ibid, hlm 495
[20] Ibnu Sina, Fi Kitab Al-Siyasah, hlm. 12
[21] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husen,  Jakarta: Bulan Bintang, 1979,  hlm. 135.
[22] Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1995, hlm 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar